Di depan ribuan pasang mata yang menghadiri
acara Mocopat Syafaat, Bantul (17/7), budayawan Emha Ainun Nadjib mengatakan
bahwa sebelum Islam datang, orang Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah
Islam.
“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang
dinamakan bank (berlabel) Syariat,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini
mulai menyinggung perbedaan simbol dan substansi.
Penulis buku ‘Slilit Sang Kiai’ ini lalu berbicara tentang khazanah substansial dalam Islam yang telah dijalankan oleh para leluhur khususnya di tanah Jawa seperti ‘Gusti Allah ora sare, mo limo,’ hingga konsep tentang ‘kualat’. Setelah datangnya Islam ke Nusantara, Al-Qur’an membahasakan konsep ‘kualat’ seperti dalam ayat, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 8)
Namun, menurut Cak
Nun, ‘perkawinan’ Islam dengan manusia dengan segala kapasitas sepiritiual dan
intelektualnya itu, juga melahirkan ragam tingkatan seorang Muslim. Level
pertama adalah Muslim yang keislamannya mengandalkan simbol atau ikon kultural.
“Jadi, Islam itu cukup
diwakilkan oleh simbol-simbol kultural.”
Sebagian orang menilai
keislaman seseorang jika terlihat memakai jilbab, peci, serban, tasbih dan
simbol-simbol lainnya. Lebih dalam lagi, jika telah terlihat beribadah seperti
shalat, zakat, atau haji. “Pokoknya, ada tanda-tanda yang terjangkau oleh panca
indra.”
Perdebatan pada tahap
ini juga hanya seputar tanda-tanda lahiriah. Cak Nun lalu memberi contoh jamaah
masjid yang ribut hanya karena perbedaan tinggi-rendahnya tirai pembatas antara
pria dan perempuan. Orang yang memiliki pandangan dunia Islam sebatas ini akan
kaget dengan realitas tidak berbanding-lurusnya simbol yang dibangga-banggakan
itu dengan akhlak mulia.
“Yang penting dia
hafal Al-Qur’an, sudah dianggap baik banget. Kemudian kaget, ternyata koruptor
juga suka Yasinan. Bahkan, undangan pembagian uang korupsi itu disebut
Tahlilan,” katanya sambil kembali menekankan bahwa simbol juga penting tapi
Islam tidak sebatas simbolik.
Jika menyelam lebih
dalam sedikit, akan sampai pada mazhabiyah. Mazhabiyah indikasinya ideologis,
adanya sistem nilai, orang telah berpikir tentang negara Islam atau tidak,
kesultanan atau kerajaan dan seterusnya. Tak lupa Cak Nun menyebutkan
kelompok-kelompok pengusung khilafah Islamiyah di Indonesia sebagai salah satu
contoh.
Sayangnya, tidak
jarang kekuasaan yang berperan pada tingkat ini. Cak Nun lalu berbicara tentang
fikih yang diejawantahkan sebagai pasal-pasal selama berabad-abad untuk
kepentingan penguasa. “Apalagi Anda tahu sifat sejarah. Sejarah itu milik orang
yang menang, orang yang berkuasa. Apabila Anda tidak punya kritisisme pada
informasi sejarah berarti Anda orang yang kalah.”
Ditambah lagi, kata
pria kelahiran Jombang ini, nasib ijtihad dalam umat Islam sudah sangat
memprihatinkan. Sampai hari ini, di sejumlah belahan umat Islam berada,
pemikiran Islam hampir tidak berkembang lagi.
Pada tingkat
selanjutnya bukan lagi simbolik, bukan lagi sistem nilai tapi tingkat ruhani.
Cak Nun mencontohkan orang-orang yang mencari kebenaran dan datang ke
tempat-tempat diskusi untuk mencari ilmu sejatinya dia datang secara ruhani.
“Anda ke sini bukan karena jasad Anda, tapi karena ruhani Anda. Seandainya Anda
bisa ke sini hanya dengan ruh, pasti Anda ke sini tanpa jasad.”
Sejauh pantauan
IslamIndonesia, malam itu orang-orang yang hadir memadati pelataran tempat
acara berlangsung hingga ke jalan-jalan kampung. Meski dibantu dengan
‘layar raksasa’, masih banyak orang yang tidak bisa melihat langsung para nara
sumber di panggung. Mereka itu, kata Cak Nun, tidak lagi butuh melihat wajah
pembicara tapi yang mereka cari ialah kebenaran.
Ruhani, menurut Cak
Nun, itu pun strukturnya bermacam-macam, dari kulit arinya ruh yaitu
kesadaran-kesadaran teknis, sampai masuk sedikit yaitu mesin akal sampai
kemudian naluri, gelombang ruhani, “hingga tajalli (manifestasi) Allah di dalam
jiwa Anda.”
Jika konsisten dengan
pandangan dunia Islam ini, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan sosial
juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di ranah sosial,
sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir terlihat saleh. Karena
orang saleh (secara individu) akan saleh secara sosial. Tidak berbeda dengan
dikotomi Muslim yang zalim dan kafir yang adil.
“Kalau ada pemimpin
yang zalim ya tidak bisa disebut Muslim dong. Dan kalau ada pemimpin yang adil,
ya tidak bisa disebut kafir.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar