Selasa, 20 Desember 2016

Uang RI dari jaman ke jaman

Berbicara tentang bentuk uang Indonesia, uang kertas pecahan 500 rupiah dengan gambar orang utan begitu melegenda. Bahkan, uang pecahan tersebut kerap kali dijadikan guyonan oleh anak-anak zaman dulu. Belum lagi bentuk uang pecahan jadul lainnya yang tidak terlupakan hingga sekarang.
Nah, berikut ini merupakan perubahan bentuk uang Indonesia dari tahun ke tahun, dilansir dari www.wowshack.com. Bahkan mungkin, beberapa dari kita ada yang tidak mengenal bentuk uang ini karena memang belum lahir. Simak dam sekalian bernostalgia yuk!

1. Bentuk uang tahun 1945

Salah satu ciri bentuk uang terdahulu yakni tidak memiliki nomor seri untuk pecahan sen. Dan orang terdahulu menyebutnya sebagai uang seri ORI, yang merupakan kepanjangan dari Oeang Republik Indonesia. Seri ORI I  tertanggal 17 Oktober 1945 meskipun baru beredar jauh sesudahnya, dilansir dari uang-kuno.com.

Bentuk uang tahun 1945 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1945 | copyright ATSnotes.com
Selain itu, bentuk uang terdahulu menggunakan pecahan sen dan rupiah. Di antaranya pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, setengah rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, hingga 100 rupiah.  Untuk pecahan uang sen hanya terdapat nominal yang tertulis besar di lembaran uang. Baru untuk pecahan rupiah terdapat gambar pahlawan dan sudah memiliki nomor seri.

2. Bentuk uang tahun 1952

Berbeda dari tahun sebelumnya yang menggunakan pecahan sen dan hanya  terdapat huruf dan tidak memiliki nomor seri, tahun 1952 Indonesia sudah mengeluarkan uang pecahan rupiah. Beberapa menggunakan gambar pahlawan. Namun kebanyakan menggunakan gambar unik dan lambang yang Indonesia banget.

Bentuk uang tahun 1952 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1952 | copyright ATSnotes.com
Jika sebelumnya hanya terdapat pecahan tertinggi 100 rupiah, di tahun ini Indonesia sudah mulai mencetak pecahan 1.000 rupiah yang bergambarkan seorang raja atau pangeran yang mengenakan mahkota kerajaan. Begitu pula dengan pecahan lain yang menggunakan gambar unik khas Indonesia.

3. Bentuk uang tahun 1958

Bentuk uang tahun 1958 lebih dikenal dengan seri pekerja. Bagaimana tidak, uang yang dikeluarkan pada tahun ini dan sesudahnya didominasi oleh gambar orang Indonesia yang sedang bekerja.

Bentuk uang tahun 1958 | copyrght ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1958 | copyrght ATSnotes.com
Mulai dari pecahan 5 rupiah hingga yang tertinggi 5.000 rupiah terdapat gambar orang bekerja. Antara lain, wanita yang sedang membatik, pengrajin, nelayan, orang yang bekerja di kebun karet, hingga wanita petani yang memegang padi. Bentuk ini masih menggunakan gambar yang sama untuk tahun setelahnya. Hanya saja mereka mengalami perubahan warna.

4. Bentuk uang tahun 1960

Untuk tahun 1960, banyak orang yang menyebutnya sebagai bentuk uang seri Sukarno. Mulai dari pecahan 5 rupiah hingga 1.000 rupiah terdapat kharisma gambar sang proklamator. Dan uang yang beredar di tahun ini merupakan bentuk uang yang paling diincar orang mancanegara.

Bentuk uang tahun 1960 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1960 | copyright ATSnotes.com
Desain gambar semua pecahan uang di tahun 1960 hampir sama untuk bagian depannya. Yakni menggunakan gambar bapak Soekarno dengan warna yang berbeda untuk tiap pecahannya. Sedangkan gambar yang di belakang mulai bervariasi seperti penari Bali hingga tokoh pewayangan Indonesia.

5. Bentuk uang tahun 1968

Jika tahun 1960an uang Indonesia menggunakan gambar bapak proklamator, di tahun 1968 ini uang yang beredar menggunakan gambar Panglima Sudirman. Sehingga, bentuk uang yang keluar tahun 1968 lebih dikenal dengan uang seri Sudirman.

Bentuk uang tahun 1968 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1968 | copyright ATSnotes.com
Sama halnya dengan seri Soekarno, di pecahan uang tahun 1968 ini terdapat gambar Sudirman di bagian belakang dengan warna yang berbeda untuk tiap pecahan uangnya. Jika bagian belakang uang tahun sebelumnya di dominasi gambar orang Indonesia dari berbagai daerah, uang seri Sudirman justru dominan gambar tempat-tempat di Indonesia. Di samping itu, uang seri Sudirman juga merupakan seri yang memiliki pecahan terbanyak, yaki 11 lembar mulai dari 1 rupiah hingga 10.000 rupiah.

6. Bentuk uang tahun 1984

Nah, untuk uang yang dicetak tahun 1980an, gambar yang digunakan bermacam-macam. Mulai dari gambar pahlawan, rumah adat, gunung, danau, gedung, hingga flora dan fauna. Di tahun ini, Bank Indonesia mengeluarkan 8 jenis uang kertas dengan gambar dan tema yang berbeda serta pecahan minimal 100 rupiah.

Bentuk uang tahun 1984 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1984 | copyright ATSnotes.com
Salah satu di antaranya adalah pecahan 100 rupiah berwarna merah dengan gambar burung dara mahkota dan bertanda air Garuda Pancasila. Satu lagi ciri khas uang tahun 1984. Yakni semua uang pecahan yang diterbitkan di tahun ini tidak memiliki variasi tanda air ataupun nomor seri.

7. Bentuk uang tahun 1992

Adapun bentuk uang yang begitu lekat di hati untuk tahun 1992 adalah pecahan uang 500 rupiah dengan gambar orang utan yang menjadi bahan guyonan. Begitu pula dengan pecahan 100 rupiah dengan gambar perahu layar (phinisi) yang kemudian pecahan uang tersebut lebih dikenal sebagai 100 PL. Tak ketinggalan, pecahan 1.000 rupiah bergambar danau toba di bagian depan dan orang yang sedang lompat batu di bagian belakang yang sekarang susah untuk didapatkan.

Bentuk uang tahun 1992 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1992 | copyright ATSnotes.com
Selain itu, pecahan 5.000 rupiah bergambar alat musik sasando yang dicetak dari tahun 1992 hingga tahun 2001. Adapun untuk pecahan 10.000 rupiah terdapat gambar Sultan Hamengkubuwono IX serta gambar candi Borobudur di bagian belakang. Burung cenderawasih untuk pecahan 20.000 rupiah serta gambar mantan presiden Soeharto untuk pecahan 50.000 rupiah yang hanya diterbitkan tahun 1993 dan 1994.

8. Bentuk uang tahun 1998

Bentuk uang tahun 1998 pada dasarnya tidak jauh beda dengan tahun sebelumnya. Hanya saja, beberapa pecahan uang yang mengalami perubahan. Di antaranya pecahan 10.000 rupiah, 20.000 rupiah, 50.000 rupiah, dan tambahan pecahan 100.000 rupiah.

Bentuk uang tahun 1998 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 1998 | copyright ATSnotes.com
Untuk pecahan 10.000 rupiah bergambar pahlawan perempuan Tjut Njak Dhien di bagian depan yang terdiri dari 6 tahun cetak. Pecahan 20.000 rupiah yang semula burung cenderawasih berubah menjadi Ki Hajar Dewantara dan kegiatan belajar di bagian belakangnya. WR Supratman menjadi gambar pada pecahan 50.000 rupiah. Dan yang terakhir, uang polymer kedua di Indonesia dengan gambar Soekarno-Hatta dalam pecahan 100.000 rupiah.

9. Bentuk uang tahun 2000

Sedangkan untuk tahun 2000 hingga sekarang, uang kertas pecahan seribu rupiah menjadi bentuk uang yang melegenda. Gambar Kapitan Pattimura yang memegang parang kerap kali menjadi bahan guyonan dan meme lucu bagi orang-orang yang sedang kanker (kantong kering).

Bentuk uang tahun 2000an | copyrright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 2000an | copyrright ATSnotes.com
Selain uang seribuan yang begitu fenomenal, Indonesia memiliki pecahan uang 5.000 rupiah bergambar Tuanku Imam Bonjol yang dikeluarkan tahun 2001, uang 10.000 rupiah berwarna merah keunguan, 20.000 rupiah dengan gambar Otto Iskandardinata dan pemetik teh, 50.000 rupiah, serta pecahan uang kertas 100.000 rupiah dengan gambar pahlawan Soekarno – Hatta. Seperti yang ditunjukkan oleh gambar di atas.

10. Bentuk uang tahun 2009

Nah, untuk tahun 2009 hingga sekarang, Indonesia masih menggunakan bentuk uang tahun 2000an. Kendati bergambar sama, namun pecahan uang tersebut memiliki ciri yang berbeda dari pecahan tahun 2000an seperti tanda tangan, tahun cetak di bagian depan, serta tahun emisi di bagian belakang.

Bentuk uang tahun 2009 | copyright ATSnotes.com
Bentuk uang tahun 2009 | copyright ATSnotes.com
Di tahun ini pula, Indonesia mengeluarkan pecahan uang 2.000 rupiah yang bergambarkan Pangeran Antasari, pahlawan nasional asal Banjarmasin. Sedangkan di bagian belakang terdapat gambar Tarian Adat Dayak. Pecahan 2.000an ini dominan warna abu-abu dan berlaku sejak Juli 2009 yang lalu hingga sekarang.

11, Bentuk Uang tahun 2016
Dijam kepemimpinan Presiden Jokowi BI telah menerbitkan pecahan uang baru yang berlaku mulai tanggal 19 Desember 2016.  dengan rincian 
Uang kertas terdiri atas nominal Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000.
Sementara uang pecahan logam terdiri dari Rp 1.000, Rp 500, Rp 200, dan Rp 100.
Total ada 12 gambar pahlawan. Ada dua gambar pahlawan di pecahan Rp 100 ribu, dan masing-masing satu gambar pada pecahan lainnya.
Berikut detailnya:
1. Pahlawan Nasional Dr. (HC) Ir. Soekarno dan Dr (HC) Drs. Mohammad Hatta sebagai gambar utama pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 100 ribu.
2. Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda Kartawidjaja sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 50 ribu.
3.Pahlawan Nasional Dr. G.S.S.J. Ratulangi sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 20 ribu
4. Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 10 ribu
5. Pahlawan Nasional Dr. K.H. Idham Chalid sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 5.000.
6. Pahlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 2.000.
7. Pahlawan Nasional Tjut Meutiah sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 1.000.
8. Pahlawan Nasional Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp 1.000.
9. Pahlawan Nasional Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp 500.
10 Pahlawan Nasional Dr. Tjiptomangunkusumo sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp 200.
11. Pahlawan Nasional Prof.Dr.Ir. Herman Johanes sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp 100..

sumber : http://makassar.tribunnews.com/2016/12/19/begini-tampilan-uang-rupiah-baru-emisi-2016?page=2
 

Kamis, 13 Oktober 2016

QS Al-Maidah 51 menjadi penting

Semenjak Calon Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama alias Ahok menyebutkan tentang Qur'an Surat Almaidah ayat 51, maka beberapa ulama membahas isi dari kandungan surat tersebut, tentunya para ulama tersebut memiliki pandangan satu sama lainnya memiliki perbedaan, tergantung dari mana melihatnya.
Untuk itu penulis ingin berbagi tentang pembahasan Surat Al Maidah ayat 51  ini  yang disampaikan oleh Nadirsyah Hosen salah seorang  Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia.
 Beliau menulis di NU online sebagai berikut :
Belakangan ini beredar kutipan kisah Sayyidina Umar bin Khattab, Khalifah kedua, dengan sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ari. Dialog yang dinukil dari Tafsir Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 51 dipakai sebagian pihak untuk menyerang kandidat tertentu dalam Pilkada DKI. Bagaimana sebenarnya kisah tersebut? Mari kita pelajari bersama, dan untuk sementara kita niatkan untuk mengaji saja, bukan membahas Pilkada. Ini biar kajian kita menjadi obyektif.

Kisahnya sendiri dikutip oleh sejumlah kitab Tafsir, dengan perbedaan redaksi, perbedaan riwayat dan perbedaan konteks ayat ketika kisah ini diceritakan ulang. Begitu juga kita harus memahami pernyataan Khalifah Umar baik dalam konteks Usul al-Fiqh maupun dalam konteks Fiqh Siyasah. Mari kita bahas satu per satu.

Memahami background kisah

Pemahaman akan konteks akan membantu kita memahami teks. Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Islam mulai meluas merambah area di luar Hijaz. Abu Musa al-Asy’ari diangkat menjadi Gubernur di Bashrah, Iraq. Khalifah Umar meminta laporan berkala kepada para Gubernurnya. Maka diriwayatkan Abu Musa mengangkat seorang Kristen sebagai Katib (sekretaris). 

Sekretaris yang tidak disebutkan namanya ini bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa selaku Gubernur. Abu Musa membawa Sekretarisnya ini memasuki Madinah, dan mereka menghadap Khalifah Umar. Umar takjub dengan kerapian catatan yang dibuat oleh sekretaris Abu Musa.

Datang pula laporan keuangan dari Syam. Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam itu di Masjid Nabawi. Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.” Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?” “Bukan, dia Nasrani,” jawab Abu Musa. Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”

Kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah 51. Kisah di atas dinukil dari Tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. Saya cek kitab Tafsir Ibn Abi Hatim dan menemukan kisah yang sama. Kisah tersebut juga dicantumkan dalam sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.

Perbedaan redaksi

Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubi, dimana di bagian akhir dialog ada perbedaan ucapan Umar. Imam al-Qurtubi juga mencantumkan kisah di atas bukan dalam QS al-Maidah:51 tapi dalam QS Ali Imran:118. Ini yang disampaikan Umar versi Tafsir al-Qurtubi: “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.

Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Razi, sebagaimana juga disebutkan dalam Kitab Tafsir Bahrul Muhit, al-Lubab fi Ulumil Kitab, Tafsir al-Naisaburi ada lanjutan dialognya: Abu Musa berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrah kecuali dibantu orang ini”. Khalifah Umar yang sedang murka, menjawab singkat: “Mati saja lah orang Kristen itu. Wassalam”.

Para ulama menafsirkan maksud perkataan Umar terakhir itu dengan makna: “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok dia meninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggap saja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusi urusan itu.”

Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.

Kenapa Khalifah Umar Marah?

Dialog di atas terjadi di Madinah. Di sini kunci kita memahami kemarahan Khalifah Umar. Abu Musa membawa sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam saja. Bahkan Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di Masjid. Barulah Abu Musa mengaku kepada Khalifah latar belakang sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalifah Umar saat memarahi Abu Musa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalifah Umar, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”.

Maksudnya adalah keharaman wilayah Madinah yang steril dari non Muslim karena Allah sudah jauhkan mereka, eh kok malah dibawa masuk oleh Abu Musa. Jadi ini bukan semata-mata persoalan Abu Musa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian wilayah Madinah. Pemahaman ini dikonfirmasi oleh Ibn Katsir dalam kitabnya yang lain yang berjudul Musnad al-Faruq.

Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah ketergantungan Abu Musa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantunga itu tampak dengan Abu Musa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yabng Kristen itu mendampingi dia memberi laporan kepada Khalifah.

Bagi sang Khalifah, rahasia negara menjadi beresiko ketika posisi strategis semacam itu dipercayakan kepada non-Muslim di masa saat Khalifah Umar sedang melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non-Muslim, seperti pembebasan Iraq dan Mesir. Inilah pula konteksnya ketika Khalifah Umar mengutip QS al-Maidah:51 dimana Allah melarang mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai awliya (sekutu/kawan akrab), yang menurut Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Nisa:144:

“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai ‘awliya’ mereka, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah "awliya" dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka."

Maka jelas ‘illat larangan yang dipahami Umar bin Khattab ada dalam kasus Abu Musa ini, yaitu ketergantungan Abu Musa kepada anak buahnya, posisi strategis dalam hal catatan keluar-masuk zakat-jizyah, serta potensi bocornya rahasia negara yang tengah melakukan ekspansi dakwah.

Yang menarik adalah Sa’id Hawa dalam al-Asas fi al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan, kondisi, dan lokasi serta zaman.”

Sahihkah riwayatnya?

Tidak satupun 9 kitab Hadis Utama yang meriwayatkan kisah di atas. Berarti kisah di atas itu bukan masuk kategori Hadits, tapi Atsar Sahabat. Kisahnya berhenti di Umar, bukan di Rasulullah SAW. Kisah ini justru dimuat di Kitab Tafsir. Pelacakan saya hanya satu kitab Hadits (di luar kutubut tis’ah) yang memuatnya yaitu Sunan al-Kubra lil Baihaqi. 

Imam Baihaqi memasukkan dua riwayat yang berbeda mengenai kisah di atas (9/343 dan 10/216). Atsar ini dinyatakan sanadnya hasan melalui jalur Simak bin Harb oleh kitab Silsilah al-Atsar al-Shahihah. Sementara Al-albani mensahihkan Atsar ini dalam jalur yang lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Irwa al-Ghalil.

Dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah kisah mengenai jawaban Umar, “Mati sajalah si Kristen itu” disampaikan kepada Khalid bin Walid. Bukan berkenaan dengan Abu Musa. Namun ulama lain mengatakan itu Abu Musa. Dalam kitab Zahratut Tafsir, Abu Zahrah mengatakan kata-kata Umar “mati sajalah si Krsten itu” dilakukan dalam surat menyurat dengan Abu Musa, bukan dialog langsung. Demikianlah kesimpangsiuran kisah di atas, dengan berbagai redaksi dan riwayat yang berbeda. Tapi sekali lagi ini bukan Hadits Nabi. Ini merupakan Atsar sahabat.

Qaulus Shahabi atau keputusan Khalifah?

Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi. Abu Musa al-Asy’ari juga sahabat Nabi. Keduanya berbeda pandangan dalam hal ini. Pendapat keduanya dalam usul al-fiqh disebut sebagai qaulus shahabi. Singkatnya ini adalah ijtihad para sahabat Nabi yang tidak disandarkan kepada Nabi. Artinya murni pemahaman mereka sepeninggal Nabi SAW.

Para ulama usul al-fiqh ada yang menerima kehujjahan qaulus shahabi sebagai salah satu sumber hukum Islam, seperti pendapatnya Imam Malik, namun Imam Syafi’i (qaul jadid) dan para pengikut beliau seperti Imam al-Ghazali serta Imam al-Amidi menolak kehujjahan qaulus shahabi. Itu artinya, pendapat Khalifah Umar dan Abu Musa sama-sama sah dan bisa dipertimbangkan bagi mazhab Maliki, namun tidka mengapa pendapat keduanya ditolak menurut mazhab Syafi’i.

Itu kalau kita memahami dari sudut usul al-fiqh. Kalau kita melihatnya dari sudut Fiqh Siyasah, maka keputusan Umar lebih kuat karena ia memutuskan dalam posisi sebagai khalifah, dan suka atau tidak suka, sebagai Gubernur bawahan Khalifah, Abu Musa harus ikut keputusan Umar. Namun keputusan Khalifah itu tidak otomatis dianggap ijma’ (kesepakatan) karena jelas ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat.

Dengan kata lain, sikap Umar itu adalah kebijaksanaan beliau saat itu, yang seperti dicatat oleh sejarah, berbeda dengan kebijakan para Khalifah lainnya yang mengangkat non-Muslim sebagai pejabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyah, Khalifah al-Mu’tadhid, Khalifah al-Mu’tamid, dan Khalifah al-Muqtadir.

Seperti yang disinggung pengarang al-Asas fi tafsir al-Qur’an di atas, kondisi dan konteksnya berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Khalifah Umar. Boleh jadi begitu juga apa yang dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.

 lihat sumbernya di http://www.nu.or.id/post/read/71937/meluruskan-sejumlah-tafsir-surat-al-maidah-51

Minggu, 09 Oktober 2016

Memilih pemimpin non muslim?

Semenjak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, banyak sekali kalangan yang menolak dipimpin oleh Basuki Thahaya Purnama alias Ahok dengan alasan Non Muslim. Penolakan tersebut semakin kuat, ketika Ahok mengunjungi Kepulauan seribu, ditempat itu Ahok berbicara melalui video  Dalam video terkait surat tersebut, Ahok mengatakan, "... Kan bisa saja dalam hati kecil, bapak, ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongi (orang) dengan surat Al Maidah (ayat) 51 macam-macam itu. Itu hak bapak, ibu."
Pernyataan inilah yang menjadikan suasana hati umat muslim terusik. Seakan-akan AHok menghina Al-Qur"an.
tafsir-alquran
Tafsir Al Maidah Ayat 51 Tafsir Al Maidah 51 Larangan Memilih Pemimpin Kafir Arti Auliya Al Maidah 51

Dalam kesempatan ini saya postingkan tulisan dari Yulian Purnama di Muslim OR.Id
Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.
Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin

[Ayat ke-1]
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).
[Ayat ke-2]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia  berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.
[Ayat ke-3]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)
As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)

Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara

[Ayat ke-4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir

[Ayat ke-5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:
أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ
Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).
As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).
[Ayat ke-6]
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)
As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).
Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik

[Ayat ke-7]
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)
Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)

Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

[Ayat ke-8]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya

[Ayat ke-9]
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah: 81)
Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid  menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 08 Oktober 2016

Cak Nun: Kalau Ada Pemimpin Adil, Ya Tidak Bisa Disebut Kafir Dong

Di depan ribuan pasang mata yang menghadiri acara Mocopat Syafaat, Bantul (17/7), budayawan Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa sebelum Islam datang, orang Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.




“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini mulai menyinggung perbedaan simbol dan substansi.


Penulis buku ‘Slilit Sang Kiai’ ini lalu berbicara tentang khazanah substansial dalam Islam yang telah dijalankan oleh para leluhur khususnya di tanah Jawa seperti ‘Gusti Allah ora sare, mo limo,’ hingga konsep tentang ‘kualat’. Setelah datangnya Islam ke Nusantara, Al-Qur’an membahasakan konsep ‘kualat’ seperti dalam ayat, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 8)
Namun, menurut Cak Nun, ‘perkawinan’ Islam dengan manusia dengan segala kapasitas sepiritiual dan intelektualnya itu, juga melahirkan ragam tingkatan seorang Muslim. Level pertama adalah Muslim yang keislamannya mengandalkan simbol atau ikon kultural.
“Jadi, Islam itu cukup diwakilkan oleh simbol-simbol kultural.”
Sebagian orang menilai keislaman seseorang jika terlihat memakai jilbab, peci, serban, tasbih dan simbol-simbol lainnya. Lebih dalam lagi, jika telah terlihat beribadah seperti shalat, zakat, atau haji. “Pokoknya, ada tanda-tanda yang terjangkau oleh panca indra.”
Perdebatan pada tahap ini juga hanya seputar tanda-tanda lahiriah. Cak Nun lalu memberi contoh jamaah masjid yang ribut hanya karena perbedaan tinggi-rendahnya tirai pembatas antara pria dan perempuan. Orang yang memiliki pandangan dunia Islam sebatas ini akan kaget dengan realitas tidak berbanding-lurusnya simbol yang dibangga-banggakan itu dengan akhlak mulia.
“Yang penting dia hafal Al-Qur’an, sudah dianggap baik banget. Kemudian kaget, ternyata koruptor juga suka Yasinan. Bahkan, undangan pembagian uang korupsi itu disebut Tahlilan,” katanya sambil kembali menekankan bahwa simbol juga penting tapi Islam tidak sebatas simbolik.
Jika menyelam lebih dalam sedikit, akan sampai pada mazhabiyah. Mazhabiyah indikasinya ideologis, adanya sistem nilai, orang telah berpikir tentang negara Islam atau tidak, kesultanan atau kerajaan dan seterusnya. Tak lupa Cak Nun menyebutkan kelompok-kelompok pengusung khilafah Islamiyah di Indonesia sebagai salah satu contoh.
Sayangnya, tidak jarang kekuasaan yang berperan pada tingkat ini. Cak Nun lalu berbicara tentang fikih yang diejawantahkan sebagai pasal-pasal selama berabad-abad untuk kepentingan penguasa. “Apalagi Anda tahu sifat sejarah. Sejarah itu milik orang yang menang, orang yang berkuasa. Apabila Anda tidak punya kritisisme pada informasi sejarah berarti Anda orang yang kalah.”
Ditambah lagi, kata pria kelahiran Jombang ini, nasib ijtihad dalam umat Islam sudah sangat memprihatinkan. Sampai hari ini, di sejumlah belahan umat Islam berada, pemikiran Islam hampir tidak berkembang lagi.
Pada tingkat selanjutnya bukan lagi simbolik, bukan lagi sistem nilai tapi tingkat ruhani. Cak Nun mencontohkan orang-orang yang mencari kebenaran dan datang ke tempat-tempat diskusi untuk mencari ilmu sejatinya dia datang secara ruhani. “Anda ke sini bukan karena jasad Anda, tapi karena ruhani Anda. Seandainya Anda bisa ke sini hanya dengan ruh, pasti Anda ke sini tanpa jasad.”
Sejauh pantauan IslamIndonesia, malam itu orang-orang yang hadir memadati pelataran tempat acara berlangsung  hingga ke jalan-jalan kampung. Meski dibantu dengan ‘layar raksasa’, masih banyak orang yang tidak bisa melihat langsung para nara sumber di panggung. Mereka itu, kata Cak Nun, tidak lagi butuh melihat wajah pembicara tapi yang mereka cari ialah kebenaran.
Ruhani, menurut Cak Nun, itu pun strukturnya bermacam-macam, dari kulit arinya ruh yaitu kesadaran-kesadaran teknis, sampai masuk sedikit yaitu mesin akal sampai kemudian naluri, gelombang ruhani, “hingga tajalli (manifestasi) Allah di dalam jiwa Anda.”
Jika konsisten dengan pandangan dunia Islam ini, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan sosial juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di ranah sosial, sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir terlihat saleh. Karena orang saleh (secara individu) akan saleh secara sosial. Tidak berbeda dengan dikotomi Muslim yang zalim dan kafir yang adil.
“Kalau ada pemimpin yang zalim ya tidak bisa disebut Muslim dong. Dan kalau ada pemimpin yang adil, ya tidak bisa disebut kafir.”


Janji manis cagub DKI 2017

Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017, sudah sangat ramai dan banyak orang yang membicarakan. Kenapa jadi pusat perhatian semua Orang? karena DKI adalah Ibu kota Negara Indonesia.
Dengan demikian maka menjadi etalase atau pajangan terdepan untuk wajah Indonesia.  Sehingga semua orang berharap pemimpin DKI  adalah orang yang dapat menunjukkan foto atau gambaran, atau juga bisa disebut miniatur tentang Indonesia.
Ada 3 Calon Gubernur yang sudah mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI 2017-2022, yaitu Pasangan 1. Anies Bawesdan dan Sandiaga Uno 2. Agus Harimurti Yudhoyono dan Silvyana Murni dan 3. Basuki cahya purnama (AHOK) dan Djarot saeful Hidayat.
Ketiga calon tersebut sudah mengumbar janji-janjinya. seperti dibawah ini. 
Namun, kita patut optimis bahwa dalam konteks Indonesia, jagat politik dihuni oleh orang-orang yang tingkah polanya manis, semanis janjinya. Artinya, mereka tidak akan ingkar karena takut bakal kita tagih hingga di kehidupan mendatang.
http://www.bruniq.com/wp-content/uploads/2016/09/anies-baswedan-sandiaga-uno-150x150.jpg
1Janji Anies-Sandi
Bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI yang diusung Partai Gerindra dan PKS Anies Baswedan-Sandiaga Uno mengaku akan senantiasa berkomunikasi dengan warga, khususnya yang berkaitan dengan penertiban—sebagai antitesis gubernur sekarang yang menurut kubu ini doyan menggusur.
“Kami akan membangun tanpa menyakiti, makanya Anies itu pemimpin rakyat, makanya rakyat menghargai. Kalau pemimpin adalah “pemimpin gedung” (mengutamakan pembangunan), rakyat jadi enggak penting,” ujar Ketua DPD Gerindra DKI M Taufi kepada media di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (3/10/2016).
Hal tersebut berkelindan dengan tagline kampanye Anies-Sandiaga “membangun tanpa menyakiti”. Meskipun, Anies tidak bisa berjanji akan sepenuhnya menghapus penggusuran.
“Nol penggusuran itu saya rasa tidak akan ada yang berani berjanji. Tetapi semua harus dilakukan dengan baik,” ujar Anies di kawasan Pademangan, Jakarta Utara, Minggu (2/10/2016).
Sebelumnya, Anies berjanji akan selalu manusiawi dalam mengambil keputusan. “Jakarta berhak memiliki pemimpin yang manusiawi dan kebijakan yang melindungi,” kata Anies di kediaman Prabowo Subianto di Jakarta, Jumat, (23/09/2016).
Selain itu, Sandiaga Uno juga pernah bernjanji akan memilih kerja di luar ketimbang di dalam kantor.
“Saya akan lebih banyak di luar. Karena masalah Jakarta ada di luar,” kata Sandiaga di sela-sela acara peresmian tim pemenangan Sandiaga Uno, di Jalan Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta, Minggu (28/8/2016).
Sandiaga juga berjanji melibatkan berbagai lapisan masyarakat untuk membangun DKI Jakarta. Sebagai pengusaha, Sandi juga bakal menciptakan 2000.000 lapangan pekerjaan bagi warga Jakarta.
“Target saya 200.000 pengusaha akan lahir di 44 kecamatan, setiap pengusaha kita ingin bisa menciptakan sampai 10 lapangan pekerjaan sehingga jadi 2 juta lapangan pekerjaan akan hadir,” tegas Sandi di acara Jobfair Blok M Mall, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (4/10/2017).
http://www.bruniq.com/wp-content/uploads/2016/09/agus-harimurti-150x150.jpg
2Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni

Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni juga harus membuat janji manis untuk memikat warga Jakarta supaya meliriknya, sebab pasang wajah ganteng dan ayu saja tentu tidak cukup. Tagline iklan politiknya adalah “Jakarta untuk rakyat.”
Janji manis Agus-Sylvi dapat dilihat dari kutipan pidatonya di Kantor DPP Partai Demokrat (PD), Jakarta, Jumat (23/09/2016).
“Jika Allah swt mengizinkan dan saudara-saudara saya masyarakat Jakarta memberikan kepercayaan bersama Ibu Sylviana Murni, saya bertekad bekerja sekuat tenaga untuk membuat Jakarta semakin maju, aman, tertib, ekonomi makin tumbuh, masyarakat makin sejahtera, kesenjangan sosial tidak semakin menjadi-jadi, kejahatan dapat terus kita perangi, lingkungan kita makin terjaga, pemerintahan dikelola tertib, transparan dan akuntabel serta terbebas dari penyimpangan hukum dan aturan. Serta terus mengatasi permasalahan yang nyaris permanen seperti banjir dan kemacetan,” tutur Agus.
Dalam kesempatan lain, Agus juga menyatakan akan melestarikan dan mempromosikan batik Betawi. “Kita harus tidak hanya melestarikan batik, tetapi harus menduniakan batik kita ke seluruh penjuru dunia karena kita bangga itu adalah heritage kita yang harus benar-benar kita pelihara,” ujar Agus menanggapi peringatan Hari Batik Nasional yang jatuh pada Minggu (2/10/2016).
http://www.bruniq.com/wp-content/uploads/2016/09/ahok-djarot-150x150.jpg
3Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat
Sebagai petahana, pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat relatif tak harus berbusa-busa mengumbar janji. Maka, tak banyak koar-koar yang dapat dikutip jika nantinya mereka terpilih kembali. Padahal, menurut rivalnya, Ahok sangat boros dalam memproduksi kata-kata. Namun, kita bisa melihat sumpah kedua politisi jika terpilih dari kontrak politik dengan PDI-P pada Selasa (20/9/2016).
Ahok dan Djarot bersumpah akan melaksanakan 10 janji yang disebut Dasa Prasetya jika berhasil kembali memimpin DKI Jakarta lima tahun ke depan, yang isinya:
1. Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945, serta menjaga kebhinekaan bangsa.
2. Memperkokoh kegotong-royongan rakyat dalam memecahkan masalah bersama.
3. Memperkuat ekonomi rakyat melalui penataan sistem produksi, reforma agraria, pemberian proteksi, perluasan akses pasar, dan permodalan.
4. Menyediakan pangan dan perumahan yang sehat dan layak bagi rakyat.
5. Membebaskan biaya berobat dan biaya pendidikan bagi rakyat.
6. Memberikan pelayanan umum secara pasti, cepat, dan murah.
7. Melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta menerapkan aturan tata ruang secara konsisten.
8. Mereformasi birokrasi pemerintahan dalam membangun tata pemerintahan yang baik, bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
9. Menegakkan prinsip-prinsip demokrasi partisipatoris dalam proses pengambilan keputusan.
10. Menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan hak asasi manusia.

Selanjutnya siapakah yang unggul kita lihat saja pada 12 Februari 2017 mendatang
Selengkapnya silahkan baca link dibawah ini.