Berbicara tentang bentuk uang Indonesia, uang kertas pecahan 500
rupiah dengan gambar orang utan begitu melegenda. Bahkan, uang pecahan
tersebut kerap kali dijadikan guyonan oleh anak-anak zaman dulu. Belum
lagi bentuk uang pecahan jadul lainnya yang tidak terlupakan hingga
sekarang.
Nah, berikut ini merupakan perubahan bentuk uang Indonesia dari tahun
ke tahun, dilansir dari www.wowshack.com. Bahkan mungkin, beberapa dari
kita ada yang tidak mengenal bentuk uang ini karena memang belum lahir.
Simak dam sekalian bernostalgia yuk!
1. Bentuk uang tahun 1945
Salah satu ciri bentuk uang terdahulu yakni tidak memiliki nomor seri
untuk pecahan sen. Dan orang terdahulu menyebutnya sebagai uang seri
ORI, yang merupakan kepanjangan dari Oeang Republik Indonesia. Seri ORI
I tertanggal 17 Oktober 1945 meskipun baru beredar jauh sesudahnya,
dilansir dari uang-kuno.com.
Bentuk uang tahun 1945 | copyright ATSnotes.com
Selain itu, bentuk uang terdahulu menggunakan pecahan sen dan rupiah.
Di antaranya pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, setengah rupiah, 1 rupiah, 5
rupiah, 10 rupiah, hingga 100 rupiah. Untuk pecahan uang sen hanya
terdapat nominal yang tertulis besar di lembaran uang. Baru untuk
pecahan rupiah terdapat gambar pahlawan dan sudah memiliki nomor seri.
2. Bentuk uang tahun 1952
Berbeda dari tahun sebelumnya yang menggunakan pecahan sen dan hanya
terdapat huruf dan tidak memiliki nomor seri, tahun 1952 Indonesia
sudah mengeluarkan uang pecahan rupiah. Beberapa menggunakan gambar
pahlawan. Namun kebanyakan menggunakan gambar unik dan lambang yang
Indonesia banget.
Bentuk uang tahun 1952 | copyright ATSnotes.com
Jika sebelumnya hanya terdapat pecahan tertinggi 100 rupiah, di tahun
ini Indonesia sudah mulai mencetak pecahan 1.000 rupiah yang
bergambarkan seorang raja atau pangeran yang mengenakan mahkota
kerajaan. Begitu pula dengan pecahan lain yang menggunakan gambar unik
khas Indonesia.
3. Bentuk uang tahun 1958
Bentuk uang tahun 1958 lebih dikenal dengan seri pekerja. Bagaimana
tidak, uang yang dikeluarkan pada tahun ini dan sesudahnya didominasi
oleh gambar orang Indonesia yang sedang bekerja.
Bentuk uang tahun 1958 | copyrght ATSnotes.com
Mulai dari pecahan 5 rupiah hingga yang tertinggi 5.000 rupiah
terdapat gambar orang bekerja. Antara lain, wanita yang sedang membatik,
pengrajin, nelayan, orang yang bekerja di kebun karet, hingga wanita
petani yang memegang padi. Bentuk ini masih menggunakan gambar yang sama
untuk tahun setelahnya. Hanya saja mereka mengalami perubahan warna.
4. Bentuk uang tahun 1960
Untuk tahun 1960, banyak orang yang menyebutnya sebagai bentuk uang
seri Sukarno. Mulai dari pecahan 5 rupiah hingga 1.000 rupiah terdapat
kharisma gambar sang proklamator. Dan uang yang beredar di tahun ini
merupakan bentuk uang yang paling diincar orang mancanegara.
Bentuk uang tahun 1960 | copyright ATSnotes.com
Desain gambar semua pecahan uang di tahun 1960 hampir sama untuk
bagian depannya. Yakni menggunakan gambar bapak Soekarno dengan warna
yang berbeda untuk tiap pecahannya. Sedangkan gambar yang di belakang
mulai bervariasi seperti penari Bali hingga tokoh pewayangan Indonesia.
5. Bentuk uang tahun 1968
Jika tahun 1960an uang Indonesia menggunakan gambar bapak
proklamator, di tahun 1968 ini uang yang beredar menggunakan gambar
Panglima Sudirman. Sehingga, bentuk uang yang keluar tahun 1968 lebih
dikenal dengan uang seri Sudirman.
Bentuk uang tahun 1968 | copyright ATSnotes.com
Sama halnya dengan seri Soekarno, di pecahan uang tahun 1968 ini
terdapat gambar Sudirman di bagian belakang dengan warna yang berbeda
untuk tiap pecahan uangnya. Jika bagian belakang uang tahun sebelumnya
di dominasi gambar orang Indonesia dari berbagai daerah, uang seri
Sudirman justru dominan gambar tempat-tempat di Indonesia. Di samping
itu, uang seri Sudirman juga merupakan seri yang memiliki pecahan
terbanyak, yaki 11 lembar mulai dari 1 rupiah hingga 10.000 rupiah.
6. Bentuk uang tahun 1984
Nah, untuk uang yang dicetak tahun 1980an, gambar yang digunakan
bermacam-macam. Mulai dari gambar pahlawan, rumah adat, gunung, danau,
gedung, hingga flora dan fauna. Di tahun ini, Bank Indonesia
mengeluarkan 8 jenis uang kertas dengan gambar dan tema yang berbeda
serta pecahan minimal 100 rupiah.
Bentuk uang tahun 1984 | copyright ATSnotes.com
Salah satu di antaranya adalah pecahan 100 rupiah berwarna merah
dengan gambar burung dara mahkota dan bertanda air Garuda Pancasila.
Satu lagi ciri khas uang tahun 1984. Yakni semua uang pecahan yang
diterbitkan di tahun ini tidak memiliki variasi tanda air ataupun nomor
seri.
7. Bentuk uang tahun 1992
Adapun bentuk uang yang begitu lekat di hati untuk tahun 1992 adalah
pecahan uang 500 rupiah dengan gambar orang utan yang menjadi bahan
guyonan. Begitu pula dengan pecahan 100 rupiah dengan gambar perahu
layar (phinisi) yang kemudian pecahan uang tersebut lebih dikenal
sebagai 100 PL. Tak ketinggalan, pecahan 1.000 rupiah bergambar danau
toba di bagian depan dan orang yang sedang lompat batu di bagian
belakang yang sekarang susah untuk didapatkan.
Bentuk uang tahun 1992 | copyright ATSnotes.com
Selain itu, pecahan 5.000 rupiah bergambar alat musik sasando yang
dicetak dari tahun 1992 hingga tahun 2001. Adapun untuk pecahan 10.000
rupiah terdapat gambar Sultan Hamengkubuwono IX serta gambar candi
Borobudur di bagian belakang. Burung cenderawasih untuk pecahan 20.000
rupiah serta gambar mantan presiden Soeharto untuk pecahan 50.000 rupiah
yang hanya diterbitkan tahun 1993 dan 1994.
8. Bentuk uang tahun 1998
Bentuk uang tahun 1998 pada dasarnya tidak jauh beda dengan tahun
sebelumnya. Hanya saja, beberapa pecahan uang yang mengalami perubahan.
Di antaranya pecahan 10.000 rupiah, 20.000 rupiah, 50.000 rupiah, dan
tambahan pecahan 100.000 rupiah.
Bentuk uang tahun 1998 | copyright ATSnotes.com
Untuk pecahan 10.000 rupiah bergambar pahlawan perempuan Tjut Njak
Dhien di bagian depan yang terdiri dari 6 tahun cetak. Pecahan 20.000
rupiah yang semula burung cenderawasih berubah menjadi Ki Hajar
Dewantara dan kegiatan belajar di bagian belakangnya. WR Supratman
menjadi gambar pada pecahan 50.000 rupiah. Dan yang terakhir, uang
polymer kedua di Indonesia dengan gambar Soekarno-Hatta dalam pecahan
100.000 rupiah.
9. Bentuk uang tahun 2000
Sedangkan untuk tahun 2000 hingga sekarang, uang kertas pecahan
seribu rupiah menjadi bentuk uang yang melegenda. Gambar Kapitan
Pattimura yang memegang parang kerap kali menjadi bahan guyonan dan meme
lucu bagi orang-orang yang sedang kanker (kantong kering).
Bentuk uang tahun 2000an | copyrright ATSnotes.com
Selain uang seribuan yang begitu fenomenal, Indonesia memiliki
pecahan uang 5.000 rupiah bergambar Tuanku Imam Bonjol yang dikeluarkan
tahun 2001, uang 10.000 rupiah berwarna merah keunguan, 20.000 rupiah
dengan gambar Otto Iskandardinata dan pemetik teh, 50.000 rupiah, serta
pecahan uang kertas 100.000 rupiah dengan gambar pahlawan Soekarno –
Hatta. Seperti yang ditunjukkan oleh gambar di atas.
10. Bentuk uang tahun 2009
Nah, untuk tahun 2009 hingga sekarang, Indonesia masih menggunakan
bentuk uang tahun 2000an. Kendati bergambar sama, namun pecahan uang
tersebut memiliki ciri yang berbeda dari pecahan tahun 2000an seperti
tanda tangan, tahun cetak di bagian depan, serta tahun emisi di bagian
belakang.
Bentuk uang tahun 2009 | copyright ATSnotes.com
Di tahun ini pula, Indonesia mengeluarkan pecahan uang 2.000 rupiah
yang bergambarkan Pangeran Antasari, pahlawan nasional asal Banjarmasin.
Sedangkan di bagian belakang terdapat gambar Tarian Adat Dayak. Pecahan
2.000an ini dominan warna abu-abu dan berlaku sejak Juli 2009 yang lalu
hingga sekarang.
11, Bentuk Uang tahun 2016
Dijam kepemimpinan Presiden Jokowi BI telah menerbitkan pecahan uang baru yang berlaku mulai tanggal 19 Desember 2016. dengan rincian
Uang kertas terdiri atas nominal Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000.
Sementara uang pecahan logam terdiri dari Rp 1.000, Rp 500, Rp 200, dan Rp 100.
Total ada 12 gambar pahlawan. Ada dua gambar pahlawan di pecahan Rp
100 ribu, dan masing-masing satu gambar pada pecahan lainnya.
Berikut detailnya:
1. Pahlawan Nasional Dr. (HC) Ir. Soekarno dan Dr (HC) Drs. Mohammad
Hatta sebagai gambar utama pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan
pecahan Rp 100 ribu.
2. Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda Kartawidjaja sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 50 ribu.
3.Pahlawan Nasional Dr. G.S.S.J. Ratulangi sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 20 ribu
4. Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 10 ribu
5. Pahlawan Nasional Dr. K.H. Idham Chalid sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 5.000.
6. Pahlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 2.000.
7. Pahlawan Nasional Tjut Meutiah sebagai gambar pada bagian depan Rupiah kertas NKRI dengan pecahan Rp 1.000.
8. Pahlawan Nasional Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp 1.000.
9. Pahlawan Nasional Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang
sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp
500.
10 Pahlawan Nasional Dr. Tjiptomangunkusumo sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp 200.
11. Pahlawan Nasional Prof.Dr.Ir. Herman Johanes sebagai gambar pada bagian depan Rupiah logam NKRI dengan pecahan Rp 100..
sumber : http://makassar.tribunnews.com/2016/12/19/begini-tampilan-uang-rupiah-baru-emisi-2016?page=2
Semenjak Calon Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama alias Ahok menyebutkan tentang Qur'an Surat Almaidah ayat 51, maka beberapa ulama membahas isi dari kandungan surat tersebut, tentunya para ulama tersebut memiliki pandangan satu sama lainnya memiliki perbedaan, tergantung dari mana melihatnya.
Untuk itu penulis ingin berbagi tentang pembahasan Surat Al Maidah ayat 51 ini yang disampaikan oleh Nadirsyah Hosen salah seorang Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia. Beliau menulis di NU online sebagai berikut :
Belakangan ini beredar kutipan kisah Sayyidina Umar bin Khattab, Khalifah kedua, dengan sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ari. Dialog yang dinukil dari Tafsir Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 51 dipakai sebagian pihak untuk menyerang kandidat tertentu dalam Pilkada DKI. Bagaimana sebenarnya kisah tersebut? Mari kita pelajari bersama, dan untuk sementara kita niatkan untuk mengaji saja, bukan membahas Pilkada. Ini biar kajian kita menjadi obyektif.
Kisahnya sendiri dikutip oleh sejumlah kitab Tafsir, dengan perbedaan redaksi, perbedaan riwayat dan perbedaan konteks ayat ketika kisah ini diceritakan ulang. Begitu juga kita harus memahami pernyataan Khalifah Umar baik dalam konteks Usul al-Fiqh maupun dalam konteks Fiqh Siyasah. Mari kita bahas satu per satu.
Memahami background kisah
Pemahaman akan konteks akan membantu kita memahami teks. Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Islam mulai meluas merambah area di luar Hijaz. Abu Musa al-Asy’ari diangkat menjadi Gubernur di Bashrah, Iraq. Khalifah Umar meminta laporan berkala kepada para Gubernurnya. Maka diriwayatkan Abu Musa mengangkat seorang Kristen sebagai Katib (sekretaris).
Sekretaris yang tidak disebutkan namanya ini bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa selaku Gubernur. Abu Musa membawa Sekretarisnya ini memasuki Madinah, dan mereka menghadap Khalifah Umar. Umar takjub dengan kerapian catatan yang dibuat oleh sekretaris Abu Musa.
Datang pula laporan keuangan dari Syam. Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam itu di Masjid Nabawi. Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.” Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?” “Bukan, dia Nasrani,” jawab Abu Musa. Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”
Kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah 51. Kisah di atas dinukil dari Tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. Saya cek kitab Tafsir Ibn Abi Hatim dan menemukan kisah yang sama. Kisah tersebut juga dicantumkan dalam sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.
Perbedaan redaksi
Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubi, dimana di bagian akhir dialog ada perbedaan ucapan Umar. Imam al-Qurtubi juga mencantumkan kisah di atas bukan dalam QS al-Maidah:51 tapi dalam QS Ali Imran:118. Ini yang disampaikan Umar versi Tafsir al-Qurtubi: “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.
Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Razi, sebagaimana juga disebutkan dalam Kitab Tafsir Bahrul Muhit, al-Lubab fi Ulumil Kitab, Tafsir al-Naisaburi ada lanjutan dialognya: Abu Musa berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrah kecuali dibantu orang ini”. Khalifah Umar yang sedang murka, menjawab singkat: “Mati saja lah orang Kristen itu. Wassalam”.
Para ulama menafsirkan maksud perkataan Umar terakhir itu dengan makna: “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok dia meninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggap saja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusi urusan itu.”
Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.
Kenapa Khalifah Umar Marah?
Dialog di atas terjadi di Madinah. Di sini kunci kita memahami kemarahan Khalifah Umar. Abu Musa membawa sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam saja. Bahkan Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di Masjid. Barulah Abu Musa mengaku kepada Khalifah latar belakang sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalifah Umar saat memarahi Abu Musa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalifah Umar, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”.
Maksudnya adalah keharaman wilayah Madinah yang steril dari non Muslim karena Allah sudah jauhkan mereka, eh kok malah dibawa masuk oleh Abu Musa. Jadi ini bukan semata-mata persoalan Abu Musa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian wilayah Madinah. Pemahaman ini dikonfirmasi oleh Ibn Katsir dalam kitabnya yang lain yang berjudul Musnad al-Faruq.
Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah ketergantungan Abu Musa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantunga itu tampak dengan Abu Musa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yabng Kristen itu mendampingi dia memberi laporan kepada Khalifah.
Bagi sang Khalifah, rahasia negara menjadi beresiko ketika posisi strategis semacam itu dipercayakan kepada non-Muslim di masa saat Khalifah Umar sedang melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non-Muslim, seperti pembebasan Iraq dan Mesir. Inilah pula konteksnya ketika Khalifah Umar mengutip QS al-Maidah:51 dimana Allah melarang mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai awliya (sekutu/kawan akrab), yang menurut Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Nisa:144:
“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai ‘awliya’ mereka, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah "awliya" dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka."
Maka jelas ‘illat larangan yang dipahami Umar bin Khattab ada dalam kasus Abu Musa ini, yaitu ketergantungan Abu Musa kepada anak buahnya, posisi strategis dalam hal catatan keluar-masuk zakat-jizyah, serta potensi bocornya rahasia negara yang tengah melakukan ekspansi dakwah.
Yang menarik adalah Sa’id Hawa dalam al-Asas fi al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan, kondisi, dan lokasi serta zaman.”
Sahihkah riwayatnya?
Tidak satupun 9 kitab Hadis Utama yang meriwayatkan kisah di atas. Berarti kisah di atas itu bukan masuk kategori Hadits, tapi Atsar Sahabat. Kisahnya berhenti di Umar, bukan di Rasulullah SAW. Kisah ini justru dimuat di Kitab Tafsir. Pelacakan saya hanya satu kitab Hadits (di luar kutubut tis’ah) yang memuatnya yaitu Sunan al-Kubra lil Baihaqi.
Imam Baihaqi memasukkan dua riwayat yang berbeda mengenai kisah di atas (9/343 dan 10/216). Atsar ini dinyatakan sanadnya hasan melalui jalur Simak bin Harb oleh kitab Silsilah al-Atsar al-Shahihah. Sementara Al-albani mensahihkan Atsar ini dalam jalur yang lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Irwa al-Ghalil.
Dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah kisah mengenai jawaban Umar, “Mati sajalah si Kristen itu” disampaikan kepada Khalid bin Walid. Bukan berkenaan dengan Abu Musa. Namun ulama lain mengatakan itu Abu Musa. Dalam kitab Zahratut Tafsir, Abu Zahrah mengatakan kata-kata Umar “mati sajalah si Krsten itu” dilakukan dalam surat menyurat dengan Abu Musa, bukan dialog langsung. Demikianlah kesimpangsiuran kisah di atas, dengan berbagai redaksi dan riwayat yang berbeda. Tapi sekali lagi ini bukan Hadits Nabi. Ini merupakan Atsar sahabat.
Qaulus Shahabi atau keputusan Khalifah?
Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi. Abu Musa al-Asy’ari juga sahabat Nabi. Keduanya berbeda pandangan dalam hal ini. Pendapat keduanya dalam usul al-fiqh disebut sebagai qaulus shahabi. Singkatnya ini adalah ijtihad para sahabat Nabi yang tidak disandarkan kepada Nabi. Artinya murni pemahaman mereka sepeninggal Nabi SAW.
Para ulama usul al-fiqh ada yang menerima kehujjahan qaulus shahabi sebagai salah satu sumber hukum Islam, seperti pendapatnya Imam Malik, namun Imam Syafi’i (qaul jadid) dan para pengikut beliau seperti Imam al-Ghazali serta Imam al-Amidi menolak kehujjahan qaulus shahabi. Itu artinya, pendapat Khalifah Umar dan Abu Musa sama-sama sah dan bisa dipertimbangkan bagi mazhab Maliki, namun tidka mengapa pendapat keduanya ditolak menurut mazhab Syafi’i.
Itu kalau kita memahami dari sudut usul al-fiqh. Kalau kita melihatnya dari sudut Fiqh Siyasah, maka keputusan Umar lebih kuat karena ia memutuskan dalam posisi sebagai khalifah, dan suka atau tidak suka, sebagai Gubernur bawahan Khalifah, Abu Musa harus ikut keputusan Umar. Namun keputusan Khalifah itu tidak otomatis dianggap ijma’ (kesepakatan) karena jelas ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat.
Dengan kata lain, sikap Umar itu adalah kebijaksanaan beliau saat itu, yang seperti dicatat oleh sejarah, berbeda dengan kebijakan para Khalifah lainnya yang mengangkat non-Muslim sebagai pejabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyah, Khalifah al-Mu’tadhid, Khalifah al-Mu’tamid, dan Khalifah al-Muqtadir.
Seperti yang disinggung pengarang al-Asas fi tafsir al-Qur’an di atas, kondisi dan konteksnya berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Khalifah Umar. Boleh jadi begitu juga apa yang dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.
lihat sumbernya di http://www.nu.or.id/post/read/71937/meluruskan-sejumlah-tafsir-surat-al-maidah-51
Semenjak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, banyak sekali kalangan yang menolak dipimpin oleh Basuki Thahaya Purnama alias Ahok dengan alasan Non Muslim. Penolakan tersebut semakin kuat, ketika Ahok mengunjungi Kepulauan seribu, ditempat itu Ahok berbicara melalui video Dalam video terkait surat tersebut, Ahok mengatakan, "... Kan bisa saja
dalam hati kecil, bapak, ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongi
(orang) dengan surat Al Maidah (ayat) 51 macam-macam itu. Itu hak bapak,
ibu."
Pernyataan inilah yang menjadikan suasana hati umat muslim terusik. Seakan-akan AHok menghina Al-Qur"an.
Dalam kesempatan ini saya postingkan tulisan dari Yulian Purnama di Muslim OR.Id
Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an,
tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan
orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.
Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).
Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada
Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang
dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika
orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan
kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah
agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825). [Ayat ke-2]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka
adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab,
“Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa
pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu
orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu
Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab
pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia berkata: ‘Hasil kerja orang ini
bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan
laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk
ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu
Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku
dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu
membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang
bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin. [Ayat ke-3]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)
As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk
menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir
lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan
loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka
rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka
pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka
konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan
menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)
Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak
dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara
menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir
walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min.
Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih
kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada
mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).
Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka
mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan
mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu.
Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti
perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta
di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan
untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib
merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun
berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam
melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan
kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di
Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik,
namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul
untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat
memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini
sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada
orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka
kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:
“Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang
mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang
cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang
seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas
musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).
As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya,
yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan
kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun
menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa
sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk
menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya
seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang
kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854). [Ayat ke-6]
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah
menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah
kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka
berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil
seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)
As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan).
Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena
larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya.
Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut
hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang
ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang
Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang
hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau
tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).
Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan
sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita
bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum,
yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak
saling memerangi
Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan
juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum
Muslimin maupun kaum kafirin.
Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan
mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir
itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)
Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada
orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai
auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik
itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada
orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada
orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah
main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah
setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka
terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘.
Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu
semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan
juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki
kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)
Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya
padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin
bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka.
Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak
mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah
memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar
larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan
kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan
mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah: 81)
Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari
Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar
mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani
Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai
apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka
tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong
padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah
orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta
gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan
perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Di depan ribuan pasang mata yang menghadiri
acara Mocopat Syafaat, Bantul (17/7), budayawan Emha Ainun Nadjib mengatakan
bahwa sebelum Islam datang, orang Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah
Islam.
“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang
dinamakan bank (berlabel) Syariat,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini
mulai menyinggung perbedaan simbol dan substansi.
Penulis buku ‘Slilit Sang Kiai’ ini lalu
berbicara tentang khazanah substansial dalam Islam yang telah dijalankan oleh
para leluhur khususnya di tanah Jawa seperti ‘Gusti Allah ora sare, mo limo,’
hingga konsep tentang ‘kualat’. Setelah datangnya Islam ke Nusantara, Al-Qur’an
membahasakan konsep ‘kualat’ seperti dalam ayat, “Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya
pula.” (QS. Al Zalzalah: 8)
Namun, menurut Cak
Nun, ‘perkawinan’ Islam dengan manusia dengan segala kapasitas sepiritiual dan
intelektualnya itu, juga melahirkan ragam tingkatan seorang Muslim. Level
pertama adalah Muslim yang keislamannya mengandalkan simbol atau ikon kultural.
“Jadi, Islam itu cukup
diwakilkan oleh simbol-simbol kultural.”
Sebagian orang menilai
keislaman seseorang jika terlihat memakai jilbab, peci, serban, tasbih dan
simbol-simbol lainnya. Lebih dalam lagi, jika telah terlihat beribadah seperti
shalat, zakat, atau haji. “Pokoknya, ada tanda-tanda yang terjangkau oleh panca
indra.”
Perdebatan pada tahap
ini juga hanya seputar tanda-tanda lahiriah. Cak Nun lalu memberi contoh jamaah
masjid yang ribut hanya karena perbedaan tinggi-rendahnya tirai pembatas antara
pria dan perempuan. Orang yang memiliki pandangan dunia Islam sebatas ini akan
kaget dengan realitas tidak berbanding-lurusnya simbol yang dibangga-banggakan
itu dengan akhlak mulia.
“Yang penting dia
hafal Al-Qur’an, sudah dianggap baik banget. Kemudian kaget, ternyata koruptor
juga suka Yasinan. Bahkan, undangan pembagian uang korupsi itu disebut
Tahlilan,” katanya sambil kembali menekankan bahwa simbol juga penting tapi
Islam tidak sebatas simbolik.
Jika menyelam lebih
dalam sedikit, akan sampai pada mazhabiyah. Mazhabiyah indikasinya ideologis,
adanya sistem nilai, orang telah berpikir tentang negara Islam atau tidak,
kesultanan atau kerajaan dan seterusnya. Tak lupa Cak Nun menyebutkan
kelompok-kelompok pengusung khilafah Islamiyah di Indonesia sebagai salah satu
contoh.
Sayangnya, tidak
jarang kekuasaan yang berperan pada tingkat ini. Cak Nun lalu berbicara tentang
fikih yang diejawantahkan sebagai pasal-pasal selama berabad-abad untuk
kepentingan penguasa. “Apalagi Anda tahu sifat sejarah. Sejarah itu milik orang
yang menang, orang yang berkuasa. Apabila Anda tidak punya kritisisme pada
informasi sejarah berarti Anda orang yang kalah.”
Ditambah lagi, kata
pria kelahiran Jombang ini, nasib ijtihad dalam umat Islam sudah sangat
memprihatinkan. Sampai hari ini, di sejumlah belahan umat Islam berada,
pemikiran Islam hampir tidak berkembang lagi.
Pada tingkat
selanjutnya bukan lagi simbolik, bukan lagi sistem nilai tapi tingkat ruhani.
Cak Nun mencontohkan orang-orang yang mencari kebenaran dan datang ke
tempat-tempat diskusi untuk mencari ilmu sejatinya dia datang secara ruhani.
“Anda ke sini bukan karena jasad Anda, tapi karena ruhani Anda. Seandainya Anda
bisa ke sini hanya dengan ruh, pasti Anda ke sini tanpa jasad.”
Sejauh pantauan
IslamIndonesia, malam itu orang-orang yang hadir memadati pelataran tempat
acara berlangsung hingga ke jalan-jalan kampung. Meski dibantu dengan
‘layar raksasa’, masih banyak orang yang tidak bisa melihat langsung para nara
sumber di panggung. Mereka itu, kata Cak Nun, tidak lagi butuh melihat wajah
pembicara tapi yang mereka cari ialah kebenaran.
Ruhani, menurut Cak
Nun, itu pun strukturnya bermacam-macam, dari kulit arinya ruh yaitu
kesadaran-kesadaran teknis, sampai masuk sedikit yaitu mesin akal sampai
kemudian naluri, gelombang ruhani, “hingga tajalli (manifestasi) Allah di dalam
jiwa Anda.”
Jika konsisten dengan
pandangan dunia Islam ini, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan sosial
juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di ranah sosial,
sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir terlihat saleh. Karena
orang saleh (secara individu) akan saleh secara sosial. Tidak berbeda dengan
dikotomi Muslim yang zalim dan kafir yang adil.
“Kalau ada pemimpin
yang zalim ya tidak bisa disebut Muslim dong. Dan kalau ada pemimpin yang adil,
ya tidak bisa disebut kafir.”
Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017, sudah sangat ramai dan banyak orang yang membicarakan. Kenapa jadi pusat perhatian semua Orang? karena DKI adalah Ibu kota Negara Indonesia.
Dengan demikian maka menjadi etalase atau pajangan terdepan untuk wajah Indonesia. Sehingga semua orang berharap pemimpin DKI adalah orang yang dapat menunjukkan foto atau gambaran, atau juga bisa disebut miniatur tentang Indonesia.
Ada 3 Calon Gubernur yang sudah mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI 2017-2022, yaitu Pasangan 1. Anies Bawesdan dan Sandiaga Uno 2. Agus Harimurti Yudhoyono dan Silvyana Murni dan 3. Basuki cahya purnama (AHOK) dan Djarot saeful Hidayat.
Ketiga calon tersebut sudah mengumbar janji-janjinya. seperti dibawah ini.
Namun, kita patut optimis bahwa dalam konteks Indonesia, jagat
politik dihuni oleh orang-orang yang tingkah polanya manis, semanis janjinya.
Artinya, mereka tidak akan ingkar karena takut bakal kita tagih hingga di
kehidupan mendatang.
1Janji
Anies-Sandi
Bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI yang diusung Partai
Gerindra dan PKS Anies Baswedan-Sandiaga Uno mengaku akan senantiasa
berkomunikasi dengan warga, khususnya yang berkaitan dengan penertiban—sebagai
antitesis gubernur sekarang yang menurut kubu ini doyan menggusur.
“Kami akan membangun tanpa menyakiti, makanya Anies itu pemimpin
rakyat, makanya rakyat menghargai. Kalau pemimpin adalah “pemimpin gedung”
(mengutamakan pembangunan), rakyat jadi enggak penting,” ujar Ketua DPD
Gerindra DKI M Taufi kepada media di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin
(3/10/2016).
Hal tersebut berkelindan dengan tagline kampanye Anies-Sandiaga
“membangun tanpa menyakiti”. Meskipun, Anies tidak bisa berjanji akan
sepenuhnya menghapus penggusuran.
“Nol penggusuran itu saya rasa tidak akan ada yang berani
berjanji. Tetapi semua harus dilakukan dengan baik,” ujar Anies di kawasan
Pademangan, Jakarta Utara, Minggu (2/10/2016).
Sebelumnya, Anies berjanji akan selalu manusiawi dalam mengambil
keputusan. “Jakarta berhak memiliki pemimpin yang manusiawi dan kebijakan yang
melindungi,” kata Anies di kediaman Prabowo Subianto di Jakarta, Jumat,
(23/09/2016).
Selain itu, Sandiaga Uno juga
pernah bernjanji akan memilih kerja di luar ketimbang di
dalam kantor.
“Saya akan lebih banyak di luar. Karena masalah Jakarta ada di
luar,” kata Sandiaga di sela-sela acara peresmian tim pemenangan Sandiaga Uno,
di Jalan Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta, Minggu (28/8/2016).
Sandiaga juga berjanji melibatkan berbagai lapisan masyarakat
untuk membangun DKI Jakarta. Sebagai pengusaha, Sandi juga bakal menciptakan
2000.000 lapangan pekerjaan bagi warga Jakarta.
“Target saya 200.000 pengusaha akan lahir di 44 kecamatan,
setiap pengusaha kita ingin bisa menciptakan sampai 10 lapangan pekerjaan
sehingga jadi 2 juta lapangan pekerjaan akan hadir,” tegas Sandi di acara
Jobfair Blok M Mall, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (4/10/2017).
2Agus
Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni
Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni juga harus
membuat janji manis untuk memikat warga Jakarta supaya meliriknya, sebab pasang
wajah ganteng dan ayu saja tentu tidak cukup. Tagline iklan politiknya adalah
“Jakarta untuk rakyat.”
Janji manis Agus-Sylvi dapat dilihat dari kutipan pidatonya di
Kantor DPP Partai Demokrat (PD), Jakarta, Jumat (23/09/2016).
“Jika Allah swt mengizinkan dan saudara-saudara saya masyarakat
Jakarta memberikan kepercayaan bersama Ibu Sylviana Murni, saya bertekad
bekerja sekuat tenaga untuk membuat Jakarta semakin maju, aman, tertib, ekonomi
makin tumbuh, masyarakat makin sejahtera, kesenjangan sosial tidak semakin
menjadi-jadi, kejahatan dapat terus kita perangi, lingkungan kita makin
terjaga, pemerintahan dikelola tertib, transparan dan akuntabel serta terbebas
dari penyimpangan hukum dan aturan. Serta terus mengatasi permasalahan yang
nyaris permanen seperti banjir dan kemacetan,” tutur Agus.
Dalam kesempatan lain, Agus juga menyatakan akan melestarikan
dan mempromosikan batik Betawi. “Kita harus tidak hanya melestarikan batik,
tetapi harus menduniakan batik kita ke seluruh penjuru dunia karena kita bangga
itu adalah heritage kita yang harus benar-benar kita pelihara,” ujar Agus
menanggapi peringatan Hari Batik Nasional yang jatuh pada Minggu (2/10/2016).
3Basuki
Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat
Sebagai petahana, pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot
Saiful Hidayat relatif tak harus berbusa-busa mengumbar janji. Maka, tak banyak
koar-koar yang dapat dikutip jika nantinya mereka terpilih kembali. Padahal,
menurut rivalnya, Ahok sangat boros dalam memproduksi kata-kata. Namun, kita
bisa melihat sumpah kedua politisi jika terpilih dari kontrak politik dengan
PDI-P pada Selasa (20/9/2016).
Ahok dan Djarot bersumpah akan melaksanakan 10 janji yang
disebut Dasa Prasetya jika berhasil kembali memimpin DKI Jakarta lima tahun ke
depan, yang isinya:
1. Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan
UUD 1945, serta menjaga kebhinekaan bangsa.
2. Memperkokoh kegotong-royongan rakyat dalam memecahkan masalah
bersama.
3. Memperkuat ekonomi rakyat melalui penataan sistem produksi,
reforma agraria, pemberian proteksi, perluasan akses pasar, dan permodalan.
4. Menyediakan pangan dan perumahan yang sehat dan layak bagi
rakyat.
5. Membebaskan biaya berobat dan biaya pendidikan bagi rakyat.
6. Memberikan pelayanan umum secara pasti, cepat, dan murah.
7. Melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta
menerapkan aturan tata ruang secara konsisten.
8. Mereformasi birokrasi pemerintahan dalam membangun tata
pemerintahan yang baik, bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
9. Menegakkan prinsip-prinsip demokrasi partisipatoris dalam
proses pengambilan keputusan.
10. Menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan
hak asasi manusia.
Selanjutnya siapakah yang unggul kita lihat saja pada 12 Februari 2017 mendatang